OBJEK PAJAK
Objek Pajak merupakan bagian terpenting yang
dibicarakan atau dipersoalkan dalam hukum pajak materil. Objek pajak dikatakan
sebagai bagian terpenting karena wajib pajak tidak dikenakan pajak kalau tidak
memiliki, menguasai, atau menikmati objek pajak yang tergolong sebagai objek
kena pajak sebagai syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak. Objek yang
dapat dikenakan pajak dalam masyarakat sangat beraneka ragam bergantung pada
kebijakan pembuat undang-undang untuk menjaringnya sebagai objek pajak.
Apakah itu Pengertian objek pajak ?. Jika kita bertanya apakah itu objek pajak ?.
Pengertian Objek Pajak ialah segala sesuatu yang karena undang-undang dapat dikenakan pajak. Kata "dapat" dikenakan pajak mengandung makna bahwa objek pajak boleh atau tidak boleh kena pajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek harus dipertimbangkan secara maksimal agar tidak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penentuan suatu objek untuk dikenakan pajak lebih dahulu dilakukan penelitian sehingga dapat menciptakan kemanfaatan bagi negara maupun daerah selaku pihak yang membutuhkan pajak.
Hal ini dipertegas Rochmat Soemitro (1986: 99) yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyaraat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun dalam peristiwa tertentu. Dalam bahasa Jerman disebut sebagai "tatbestand", contohnya sebagai berikut.
1. Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu misalnya, memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah dan atau barang tak bergerak lainnya, menempati rumah tertentu (kebanyakan secara statis/ tetap).
2. Perbuatan, misalnya melakukan penyerahan barang karena
perjanjian, mendirikan rumah dan atau gedung, mengadakan pertunjukan atau
keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri.
3. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena yang secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia.
3. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena yang secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia.
Ternyata objek yang dapat dikenakan pajak terlalu banyak,
tergantung dari pembuat undang-undang untuk menjaringnya, sepanjang objek itu
tidak melanggar kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat. Dalam arti, masih
terdapat beberapa pembatasan yang harus ditaati oleh pembuat undang-undang
untuk menentukan suatu objek sebagai objek pajak.
Sekalipun ada pembatasan, berarti pembuat undang-undang tetap dibolehkan untuk menentukan objek yang dapat dikenakan pajak dan objek tidak dikenakan pajak. Hal semacam ini yang tergambar dalam tiap-tiap undang-undang Pajak yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang.
Sekalipun ada pembatasan, berarti pembuat undang-undang tetap dibolehkan untuk menentukan objek yang dapat dikenakan pajak dan objek tidak dikenakan pajak. Hal semacam ini yang tergambar dalam tiap-tiap undang-undang Pajak yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang.
Objek Pajak
Objek pajak diatur dalam pasal UU PPh. Objek pajak adalah
penghasilan dimana penghasilan dapat diartikan setiap tambahan, kemampuan
ekonomis yang diterima adalah diperoleh wajib pajak dari dalam negeri maupun
dari luar negeri yang dapat dikonsumsi dan menambah kekayaan dalam bentuk
apapun.
Menurut Waluyo & Wirawan (2003, 66) pengertian wajib
pajak sebagai berikut:
“Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak
dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak PPh adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dan luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.
Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa yang tidak termasuk
dalam pengertian objek pajak penghasilan merupakan penghasilan tidak tetap yang
diterima oleh Wajib Pajak karena penghasilan tersebut lebih berbentuk kepada,
kenikmatan yang tidak bisa didapat setiap bulannya, sehingga dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan.
Penghasilan dan Pengurangan PPh Pasal 21
Ketentuan pajak penghasilan pasal 21 UU PPh mengatur tentang
pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dengan
kegiatan.
a. Penghasilan PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan yang sebelum perubahan perundang-undangan
perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/
ordonisasi seperti yang dikenal dengan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang
dipungut berdasarkan ordonisasi Pajak Pandapatan tahun 1994, selanjutnya sejak
tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) kemudian dirubah menjadi Undangundang
nomr 7 tahun 1991 yang selanjutnya dirubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun
1994 yang digunakan sebagi Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan
perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah sebagaimana
telah diuraikan diatas. Kemudian setelah masa reformasi maka Undang-undang
Pajak Penghasilan dirubah menjadi Undang-undang No. 17 tahun 2000 yang masih
digunakan sampai sekarang.
Menurut Munawir (1992, 109) dikatakan bahwa :
“Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan
negara yang berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan
Undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Namun demikian dalam
sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas
penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, sehingga mempersulit
masyarakat wajib pajak untuk mempelajari, memahami dan mematuhinya”.
Undang-undang PPh terdiri dari beberapa pasal, salah satunya
adalah pasal 21, menurut Wahyutomo (1994, 40) Pajak Penghasilan pasal 21
Merupakan :
"Pajak Penghasilan pasal 21 adalah pajak yang dikenakan
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai
imbalan atas jasa yang diterima sebagai penghasilan".
Wajib Pajak PPh pasal 21 sebagaimana dikemukakan oleh
Mardiasmo (2000, 127) bahwa yang menerima penghasilan dipotong PPh 21 adalah :
Pejabat Negara
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pegawai Swasta
Pegawai Tetap
Pegawai Lepas
Penrima Pensiun
Penerima. Honorarium
Penerima Upah
Pengurangan-pengurangan yang Diperbolehkan
Menurut Waluyo & Wirawan (2003, hal. 152) adapun
penguranganpengurangan yang diperbolehkan antara, lain:
1. Untuk menentukan besarnya penghasilan netto pegawai
tetap, penghasilan bruto dikurangi dengan:
Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp 1.296.000 setahun atau. Rp. 108.000 sebulan. Biaya
jabatan dapat dikurangi dari penghasilan setiap orang bekerja sebagai pegawai
negeri tetap tanpa memandang mempunyai jabatan atau tidak.
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai
kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
Badan Penyelenggaraan Tabungan hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan
dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Untuk menentukan Besarnya Penghasilan Kena. Pajak,
Penghasilan Netonya dikurangi dengan penghasilan kena pajak, (PTKP) yang
sebesarnya:
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah
hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain
untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggung
jawabnya.
Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat, bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh
penghasilan. Diberikan. tambahan PTKP sebesar Rp.1.440.000 setahun atau Rp.
120.000 sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggung jawab
sepenuhnya paling banyak tiga orang, masing-masing sebesar Rp.1.440.000 setahun
atau Rp. 120.000 sebulan.
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada tahun awal
kawin. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam
bagian tahun kawin, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan
dari bagian tahun kawin yang bersangkutan.
Pengurangan-pengurangan yang diperbolehkan dalam menghitung
penghasilan kena, pajak bagi pegawai tetap telah ditentukan oleh ketentuan
undang-undang perpajakan. Dalam menentukan penghasilan netto untuk pegawai
tetap, maka pengurangan diperbolehkan yaitu : biaya jabatan dan pensiun dan
penghasilan netto tersebut masih diperkenankan dikurangi lagi dengan
penghasilan tidak kena pajak.
Tarif
Menurut Waluyo & Wirawan (2003, hal. 75) tarif pajak
yang sesuai dengan UU PPh pasal 17 tahun 2000 untuk penghasilan kena pajak
(PKP) adalah tarif umum yang terdiri dari:
1. Untuk wajib pajak
Orang pribadi dalam negeri
Lapisan penghasilan kena pajak
Tarif
Sampai dengan Rp.25.000.000
5%
Diatas Rp.25.000.000 sampai dengan Rp
50.000.000 10%
Diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000 15%
Diatas Rp.100.000.000 sampai dengan Rp.200.000.000 25%
Diatas Rp.200.000.000
35%
2. Untuk Wajib Pajak
Badan dalam negeri dan BUT:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Sampai dengan
Rp.50.000.000
10%
Diatas Rp.50.000.000 sampai dengan
Rp.100.000.000
15%
Diatas
Rp.100.000.000
30%
Selanjutnya Mardiasmo (2000, hal. 131) mengkhususkan lagi
tarif pajak penghasilan pasal 21 yang dibagikan ke dalam :
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas
penghasilan kena pajak.
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan
bruto.
Tarif sebesar 15% diterapkan atas perkiraan penghasilan neto
yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
(pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan dsb).
Tarif sebesar 10% diterapkan atas upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya
melebihi Rp.24.000 sehari tetapi tidak melebihi Rp.240.000 dalam satu bulan
takwin dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
Dalam perhitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak
atau tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang dalam penentuan tarif bagi
wajib pajak dilihat dari lapisan penghasilan kena pajak, jika penghasilan kena
pajak lebih dari lapisan penghasilan kena pajak yang pertama, maka dikenakan
lapisan penghasilan kena pajak yang kedua dan terus berkelanjutan sampai pada
lapisan yang terakhir.
Pelaporan PPh Pasal 21
Pemotongan/pemungutan pajak penghasilan pasal 21 atau
penerima penghasilan pajak pasal 21, juga mempunyai hak dari kewajibannya dalam
menjalankan tugas, dalam melakukan pemotongan dan pemungutan atas pajak
penghasilan pasal 21 setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke kantor
pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan
berdasarkan Menteri Keuangan, sesuai pasal 21 ayat 2 UU No.7 tahun 1983 tentang
pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 tahun 2000 dan
pemotong pajak mengambil sendiri formulir yang diperlukan dalam rangka
pemenuhan kewajiban.
Pemotong pajak wajib menghitung, memotong dan menyetorkan
pajak penghasilan. pasal 21 terutang setiap bulan takwin penyetoran dilakukan
dengan menggunakan surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos atau Bandar badan
usaha milik negara milik daerah atau bank lain yang ditunjuk oleh direktorat
jenderal anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin bulan berikutnya.
Kemudian dilaporkan penyetoran dengan menggunakan surat
pemberitahuan mass (SPT masa) ke kantor pelayanan pajak atau kantor penyuluhan
pajak setempat selambat-lambatnya pads tanggal 20 bulan takwin.
Apabila satu bulan takwin terjadinya kelebihan penyetoran
pajak penghasilan pasal 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan
PPh pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwin yang
bersangkutan, dan pemotong wajib pajak memberi bukti pemotongan pajak
penghasilan pasal 21 diminta atau tidak pada saat dilakukan pemotongan kepada
orang pribadi sebagai pegawai tetap.
Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotong pajak
penghasilan pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, ditentukan oleh Jenderal
pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwin berakhir.
Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwin berakhir pemotong
pajak wajib menghitung kembali jumlah pajak penghasilan pasal 21 yang terutang
oleh pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 UU No.7 tahun 1983
terhadap pajak berakhir yang diubah UU No. 17 tabun 2000, dimana jumlah pajak
penghasilan pasal 21 didasarkan kepada kewajiban pajak subjektif yang melekat
pada pegawai tetap.
Apabila jumlah pajak yang terutang besar dari jumlah pajak
yang telah dipotong, kekurangannya dipotong dari pembayaran gaji pegawai yang
bersangkutan untuk bulan pada waktu-waktu yang dilakukan penghitungan kembali.
Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) pajak penghasilan pasal
21 ke kantor pelayanan pajak setempat, SPT disampaikan selambat-lambatnya
tanggal 31 maret bulan takwin berikutnya.
Pemotongan pajak dapat mengajukan permohonan untuk
memperpanjang jangka waktu, permohonan diajukan secara tertulis
selambat-lambatnya tanggal 31 maret tahun takwin berikutnya dengan menggunakan
formulir yang dilakukan. oleh Direktur Jendral Pajak dalam hal jumlah PPh pasal
21 yang terutang dalam 1 tahun takwin lebih besar dari PPh pasal 21 dan yang
telah disetor.
Kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan
PPh pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 maret tahun takwin berikutnya. dan
jumlah pajak penghasilan PPh pasal 21 yang terutang dalam 1 tahun takwin lebih
kecil dari pajak penghasilan pasal 21 yang telah disetor.
Kelebihan tersebut di perhitungkan dari PPh pasal 21 yang
terutang bulan pada waktu dilakukannya perhitungan tahunan. dan jika masih ada
sisa kelebihan akan diperhitungkan untuk bulan-bulan lain dalam tahun berikutnya,
dalam hal pemotongan pajak adalah badan SPT Tahunan PPh pasal 21 harus
ditandatangani oleh pengurus atau direksi dalam hal SPT Tahunan PPh pasal. 21
ditandatangani dan diisi oleh orang lain harus dilampirkan Surat kuasa khusus.
Jenis dan Batas Waktu Pembayaran SPT
Memperhatikan saat pelaporannya SPT dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. SPT Masa
2. SPT Tahunan
Sesuai dengan pasal 3 ayat (3) UU No.9 tahun 1994 tentang
KUP bahwa, batas waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut:
1. SPT Masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir
masa
2. SPT Tahunan selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir
tahun
Adapun untuk betas waktu penyampaian SPT PPh pasal 21 baik
masa ataupun tahun sebagai berikut
1). SPT Masa
Yang menyampaikan SPT : Pemotong PPH pasal 21
Batas waktu penyampaian : Tanggal 20 bulan takwin berikutnya
setelah masa pajak berakhir.
2). SPT Tahunan
Yang Menyampaikan SPT : Wajib Pajak yang mempunyai
NPWP
Batas waktu penyampain : Selambat-lambatnya 3 bulan setelah
tahun pajak berakhir.
Memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21
Setiap Wajib Pajak mengisi Surat pembentahuan (SPT), hal ini
berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 2000, SPT merupakan laporan pemungutan
PPh pasal 21 oleh Pemotong PPh pasal 21 disampaikan kepada kantor pelayanan
pajak dalam jangka waktu 20 hari setelah berakhimya masa pajak.
Membuat Pembukuan atau Pencatatan
Dalam hal-hal tertentu, untuk mengamankan kebijakan dan
tujuan sistem perpajakan beberapa persyaratan digariskan olah ketentuan
perpajakan.
Hal yang didasari pembuatan pembukuan atau pencatatan bagi
orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha adalah pasal 28 ayat (1)
UU No.16 Tahun 2000 pada setiap akhir tahun pajak wajib pajak harus menutup
pembukuan dengan membuat neraca dan perhitungan laba rugi berdasarkan prinsip
pembukuan yang konsisten dengan tahun sebelumnya.
Suatu hutang atau aktiva pajak yang ditangguhkan di
klasifikasikan di neraca sebagian lancar berdasarkan klasifikasi aktiva atau
hutang yang berhubungan dengannya untuk pelaporan keuangan pada akhir tahun
yang merupakan kenaikan hutang pajak dalam tahun-tahun mendatang sebagai
berikut dari perbedaan sementara yang ada pada, akhir tahun berjalan.
Selain mempengaruhi neraca, pajak yang ditangguhkan didebet,
maka kredit dengan jumlah yang sama dicatat dalam perkiraan beban pajak
penghasilan, suatu kredit diperkirakan beban mengurangi saldo perkiraan
tersebut.
Laporan laba rugi menunjukkan besarnya hasil yang diperoleh
perusahaan selama periode tertentu perkiraan-perkiraan yang dituangkan dalam
laporan laba rugi adalah pendapatan dan beban.
Dalam laporan laba rugi merupakan semua peningkatan aktiva
perusahaan yang berasal dari penyerahan barang dan jasa dalam rangka kegiatan
normal perusahaan dan semua beban yang hares ditangguhkan oleh perusahaan dalam
menjalankan perusahaan.
Dalam laporan laba rugi jika PPh pasal 21 ditangguhkan
(terutang) akibat dan perbedaan sementaranya (perusahaan sudah harus membuat
pembukuan sementara untuk pembayaran pajak PPh pasal 21 belum disetorkan ke
bank karena telah sampai jangka waktunya) maka perkiraan pajak penghasilan
pasal 21 terutang ini turut disajikan dalam laporan laba rugi di pos beban
operasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar